BPOM Tutup Celah Rantai Pasok Bahan Berbahaya

15 September 2025 | 08:41 WIB Dilihat 351 kali

SIARAN PERS

Nomor HM.01.1.2.09.25.152 Tanggal 15 September 2025

Tentang

BPOM Tutup Celah Rantai Pasok Bahan Berbahaya

 

Jakarta – BPOM melaksanakan Kick Off Aksi Bersama Pencegahan dan Penanganan Rantai Pasok Bahan Berbahaya/Bahan Dilarang pada Pembuatan Sediaan Farmasi dan Pangan Olahan pada Senin (15/9/2025). Aksi ini melibatkan instansi yang terkait dalam pengawasan obat dan makanan, antara lain Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Digital, Kementerian Lingkungan Hidup, Kepolisian Negara RI, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Usaha Kecil Mikro (UKM) Provinsi DKI Jakarta.

Aksi bersama ini menandai langkah strategis pengawasan yang tidak hanya berfokus pada produk jadi. Pengawasan juga perlu menyasar sektor hulu untuk menutup celah penyalahgunaan bahan kimia atau bahan berbahaya.

Pencegahan dan penanganan rantai pasok bahan berbahaya/bahan dilarang ini juga melibatkan beberapa asosiasi yang memiliki komitmen sama. Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI), Indonesian E-Commerce Association (IdEA), PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres (ASPERINDO), serta Perkumpulan Perusahaan Pemeriksa Keamanan Kargo dan Pos Indonesia (PAPPKINDO) hadir dalam kegiatan ini.

Kepala BPOM Taruna Ikrar dalam sambutannya menjelaskan bahwa obat dan makanan yang aman adalah hak masyarakat dan kewajiban negara untuk menjaminnya. “BPOM menyadari upaya pengawasan dan penindakan harus dilakukan dari hulu, yaitu dari rantai pasok bahan berbahaya/bahan dilarang yang digunakan untuk produksi sediaan farmasi dan pangan olahan. Pendekatan ini merupakan lompatan penting, yang lebih dari sekadar melakukan penindakan di hilir atau produk jadi,” lanjutnya.

“Kami tidak segan menindak tegas pelanggar dengan sanksi hukum pidana maupun administratif, agar muncul efek jera. Perlindungan kesehatan masyarakat sekaligus keberlangsungan industri nasional adalah prioritas utama kami,” tegas Kepala BPOM.

Sampai saat ini, dari hasil pengawasan, BPOM masih menemukan peredaran produk tidak memenuhi syarat (TMS). Obat bahan alam (OBA) dan suplemen kesehatan kerap mengandung bahan kimia obat (BKO), seperti sildenafil sitrat, tadalafil, sibutramin, deksametason, hingga tramadol.

Kosmetik juga masih ditemukan mengandung asam retinoat, hidrokuinon, atau steroid serta bahan berbahaya/bahan dilarang lainnya. Selain itu, pangan olahan ditemukan menggunakan formalin, boraks, hingga pewarna tekstil rhodamin B dan kuning metanil bahkan ada yang ditambahkan BKO. Produk-produk tersebut terbukti menimbulkan risiko serius bagi kesehatan, mulai dari kerusakan hati, ginjal, meningkatkan risiko kanker hingga kematian.

Sepanjang tahun 2024, BPOM menangani 282 perkara terkait peredaran obat dan makanan ilegal. Perkara tersebut terdiri dari 124 perkara obat, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif; 55 perkara OBA; 91 perkara kosmetik; serta 12 perkara pangan olahan.

Kasus besar yang disorot antara lain temuan ratusan drum/tong berisi BKO di Semarang, Jawa Tengah serta Marunda dan Cikarang, Jawa Barat dengan nilai ekonomi Rp389 miliar; OBA mengandung BKO di Klaten dan Kudus, Jawa Tengah senilai Rp3,74 miliar; kosmetik mengandung bahan berbahaya di Tangerang, Banten dan kota lainnya senilai Rp5,5 miliar; serta pangan olahan berupa mi basah mengandung formalin di Pematang Siantar, Sumatra Utara senilai Rp200 juta. Pada sebagian besar kasus tersebut, di samping produk jadi ditemukan bahan baku dilarang/bahan berbahaya.

Taruna Ikrar menyebut, “Selama bahan berbahaya masih bebas beredar tidak sesuai ketentuan, maka selama itu juga kesehatan masyarakat akan terancam. Untuk itulah pencegahan dan penanganan rantai pasok bahan berbahaya dan bahan dilarang harus menjadi fokus utama”.

“Pencegahan dan penanganan rantai pasok bahan berbahaya dan bahan dilarang jauh lebih kompleks daripada penindakan terhadap produk jadi. Hal ini disebabkan beberapa jenis bahan berbahaya diperbolehkan digunakan untuk suatu komoditi, namun dilarang untuk komoditi lainnya,” tambah Taruna Ikrar.

Pengaturan bahan berbahaya dilakukan oleh beberapa kementerian/lembaga (K/L). “Oleh karena itu, akan jauh lebih efektif, jika hal ini ditangani bersama antara BPOM dengan pemangku kepentingan terkait baik kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah serta asosiasi pelaku usaha, sesuai kewenangannya masing-masing,” ungkap Taruna Ikrar.

Saat ini, bentuk pengawasan pada sektor distribusi dilakukan oleh Kementerian Perdagangan. Pengawasan sektor digital termasuk pemblokiran situs atau konten online oleh Kementerian Komunikasi dan Digital. Pengawasan sektor penanganan bahan berbahaya dan pemusnahan limbah oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Pengawasan sektor importasi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan. Pengawasan sektor penegakan hukum dan informasi tindak kejahatan oleh Kepolisian Negara RI. Kemudian, sektor pengawasan dan pembinaan pelaku usaha oleh pemerintah daerah/dinas provinsi bersama dengan asosiasi dan pelaku usaha.

Untuk meningkatkan kerja sama para pemangku kepentingan ini, BPOM juga menginisiasi penandatanganan komitmen bersama dalam kegiatan ini. Kementerian/lembaga, asosiasi dan pelaku usaha dapat  saling terbuka dalam pertukaran data serta informasi rantai pasok bahan berbahaya dan bahan dilarang yang dipergunakan untuk pembuatan sediaan farmasi dan pangan olahan.

Komitmen dengan K/L juga akan menindaklanjuti bersama temuan pelanggaran di sepanjang rantai pasok sesuai kewenangan masing-masing. Sedangkan komitmen dengan asosiasi dan pelaku usaha juga akan dilakukan melalui pembinaan dan sosialisasi/penyebarluasan informasi sekaligus penguatan pemahaman regulasi kepada seluruh anggota dan/atau pelaku usaha sejenis.

Kerja sama melalui aksi bersama ini diharapkan memperkuat sinergi lintas sektor, meningkatkan efektivitas pengawasan, serta memperkokoh kepercayaan publik terhadap produk obat dan makanan yang beredar di Indonesia. Pengawasan komprehensif selanjutnya dapat dilakukan melalui operasi bersama dan operasionalisasi satuan tugas untuk penanganan dan pencegahan rantai pasok bahan dilarang dan/atau berbahaya dengan melibatkan seluruh lintas sektor terkait.

“Dengan pengawasan yang lebih terintegrasi dari hulu ke hilir ini, pemerintah menegaskan komitmennya untuk melindungi kesehatan masyarakat sekaligus memperkuat daya saing industri nasional,” tutup Taruna Ikrar.

Sarana